Oleh: Musri Nauli
Beberapa waktu yang lalu, didalam sebuah acara PERADI, ada tema yang menarik dan menjadi Kajian serius.
Adanya peristiwa (yang dicontohkan) oleh salah seorang pemateri yang menyatakan perkawinan “anak dibawah umur” dapat diproses hukum (dapat dipidana).
Seketika saya cukup tersentak sekaligus ingin urun rembug untuk memahami lebih utuh.
Untuk mengirisnya maka kita mulai dengan definisi dan kategori “Anak dibawah umur”.
Sebagaimana diketahui, tema umur menimbulkan polemik diberbagai peraturan perundang-undangan.
Didalam Peradilan Anak, disebutkan Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Makna ini kemudian diperkuat didalam Putusan MK yang menegaskan “yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.
Sedangkan apabila menilik kepada “Anak dibawah umur” maka “Anak” kemudian dibaca dan ditempatkan sebagai korban. Sehingga bisa langsung merujuk kepada “UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 junto 35 TAHUN 2014) adalah Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Apabila merujuk kepada UU Perlindungan Anak, maka orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Lalu bagaimana apabila terhadap Anak dibawah 18 tahun kemudian terjadinya pernikahan. Apakah sang Anak dilindungi atau “orang Tua” dapat disalahkan ?
Berkaitan dengan perkawinan maka haruslah merujuk kepada UU Perkawinan. Menurut Pasal 7 UU Perkawinan, Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Usia ini kemudian diubah dengan UU Perkawinan terbaru (UU No. 16 Tahun 2019) yang tegas menyebutkan “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita Perawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Apabila dihubungkan dengan UU Pengadilan Anak dan UU Perlindungan Anak yang menyebutkan usia 18 Tahun dengan UU Perkawinan yang menyebutkan 19 Tahun maka kemudian langsung merujuk kepada UU Perkawinan terbaru. Yakni usia 19 Tahun.
Lalu bagaimana apabila perkawinan dibawah 19 tahun atau 18 tahun dapat dikatakan dan merupakan perbuatan pidana ?
Pertanyaan pertama adalah “perkawinan” merupakan tindak pidana (perbuatan pidana) ?
Didalam berbagai Pasal-pasal didalam KUHP, yang berkaitan dengan perkawinan cuma tentang “zinah” (dimana dikategorikan zinah adalah salah satu terikat perkawinan) dan kejahatan terhadap perkawinan (Pasal 277 KUHP – Pasal 280 KUHP).
Kejahatan terhadap perkawinan yang disebutkan sebagai “Kejahatan terhadap asal-usul Perkawinan” mengatur tentang “asal usul Perkawinan (pasal 277 KUHP), Pengakuan terhadap Anak (Pasal 278 KUHP), Hambatan Perkawinan (Biasa juga disebut dengan perkawinan siri/perkawinan dibawah tangan – Pasal 279 KUHP) dan Perkawinan yang dilangsungkan tanpa diberitahu yang berhak (Pasal 280 KUHP).
Pertanyaan yang sama kemudian ditujukan kepada perkawinan yang ternyata tidak melakukan tindak pidana sebagaimana diatur didalam KUHP ?
Apakah KUHP atau UU yang berkaitan dengan tindak pidana bisa diterapkan.
Atau dengan kata lain lalu bagaimana terhadap perkawinan yang tidak memenuhi seluruh pasal-pasal KUHP kemudian dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (perbuatan pidana).
Dengan demikian maka UU Perlindungan Anak tidak dapat diterapkan terhadap perkawinan.
Sekali lagi terhadap perkawinan yang tidak termasuk kedalam kategori didalam KUHP (Pasal 284 dan Pasal 277 KUHP – Pasal 280 KUH) dan UU Perlindungan Anak.
Dengan demikian apabila merujuk kepada Anak dibawah usia 18 tahun atau usia 19 Tahun maka tidak dapat dikategorikan sebagai “perbuatan pidana”.
Lalu bagaimana terhadap perkawinan yang tidak memenuhi seluruh pasal-pasal KUHP kemudian dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (perbuatan pidana).
Kedua. Lalu bagaimana terhadap peristiwa itu kemudian dapat dilihat lebih utuh.
UU Perkawinan Sudah mengaturnya. Terhadap perkawinan dibawah usia 18 tahun 19 tahun maka yang dapat dilakukan adalah “pembatalan perkawinan”. Sehingga terhadap “orang yang mempunyai hak” dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
Bukan kemudian diproses hukum dan kemudian ditempatkan sebagai perbuatan pidana.
Dengan demikian “logika jumping” didalam memahami UU Perlindungan Anak dengan Perkawinan dibawah usia 19 tahun adalah kurang tepat.
Sehingga menempatkan “perkawinan” dibawah 18 tahun atau 19 Tahun bukanlah perbuatan pidana.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post