Oleh: Syauqi
Tidak diragukan lagi zaman ini yang serba keterbukaan mampu mengangkat minat pemuda dalam berpartisipasi politik. Kemudahan teknologi informasi memudahkan kita untuk memperoleh data dan menambah ide-ide terbaru untuk kemaslahatan masyarakat.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, partisipasi politik masyarakat merupakan wadah perjuangan bagi masyarakat untuk mewujudkan kehidupan politik yang lebih baik. Masyarakat semestinya dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya melalui media sosial. Namun bagaimana jika berperan langsung atau hanya menjadi objek pemilih dalam kontestasi pemilih.
Pemuda saat ini yang hadir masih dianggap sebagai penambah kuantitas pemilih oleh calon atau pun pemimpin untuk mempertahankan citranya. Bisa saja mereka menjadi solusi bagi demokratisasi.
Dalam demokrasi, suara berada dan beroperasi dalam suatu sistem pemilihan tertentu. Setiap suara merupakan bagian dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. Dalam suatu sistem tertentu, calon berinteraksi dengan masyarakat daerah pilihnya atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi yang diberlakukan.
Interaksi tersebut tidak lepas dari pengelompokan usia masyarakat. Tren saat ini kelompok sosial dibagi dalam rentang usia atau generasi zaman tertentu. Generasi yang cukup popular saat ini ialah Generasi Millenial dan Generasi Z. Dan mereka menduduki posisi pemuda di Indonesia. Bagaimana tidak, Revolusi Industri sekarang yang berkiblat pada teknologi informasi dikuasai oleh dua generasi ini. Pengaruh mereka pada ide dan inovasi cukup signifikan dalam mempengaruhi massa (Influence People).
Memasuki ajang perpolitikan, Pemuda berperan sebagai radar yang menangkap, menyergap, serta mengerti aspirasi dan tuntutan rakyat apalagi hal itu tercantum dalam isu sosial media. Peran inilah penulis bagi menjadi tiga yaitu peran independen (Subjektif), peran dalam perintah (Objektif) dan peran karir (Peran Ganda).
Sejak istilah Millenial terkenal, banyak sekali calon legislatif dan eksekutif mengklaim dekat dan memprioritaskan pemuda, tidak peduli itu datang dari calon yang sudah usia matang maupun muda. Seharusnya setiap calon memiliki kuping yang panjang, tajam, dan bijaksana menelaah suara rakyat berlalu tanpa bekas.
Peran Independen (Subjektif) terjadi saat pemuda memposisikan dirinya netral dalam kontestasi politik. Pendekatan politik untuk kelompok ini adalah pilihan rasional (Rational Choice). Untuk mendorong kualitas demokrasi Negara ini mereka harus mengutamakan argumentasi bukan sentimen. Banyak sekali pemuda yang terjebak selogan-selogan calon peserta pemilu yang berbau sentimen.
Dalam peran independen pemuda harus mengkritisi setiap ucapan dan tindakan calon serta menjadikan visi misi calon untuk dikritisi. Namun hal ini sulit ditemukan karena para calon enggan menjawab atau merenungkan kritikan, mereka cenderung menutup hal tersebut dengan aliansi atau tim mereka. Adanya konstitusi yang mengartikulasikan nilai dan prinsip demokrasi tidak mencukupi untuk pembentukan sistem politik yang demokratis dalam praktik. Namun, sama benarnya bahwa sebuah konstitusi demokratis adalah sebuah kondisi yang mendahului pembangunan konstitusionalisme yang demokratis. Agitasi (Penokohan) saat ini menjadi metode populer untuk memperoleh suara.
Di Jambi, ada banyak pemimpin daerah dan legislatif maupun anggota menggunakan cara ini. Jika diteliti lebih lanjut tidak sedikit pula dari mereka yang tidak mampu memformulasikan ide dan gagasan untuk daerah Jambi. Sebab, kedudukan itu mereka peroleh karena nilai capital dan ketokohan yang mereka miliki. Ironisnya untuk berbicara menyampaikan aspirasi mereka sulit dan gagasan mereka berasal dari staf mereka yang juga diperoleh karena kedekatan.
Oleh karena itu pilihan rasional mesti menjadi komitmen utama pemuda dalam berperan memberikan suara dengan menilai kualitas setiap calon eksekutif maupun legislatif. Untuk peran ini penulis menyarankan 3M (Mengobservasi, Menganalisis, Memilih). Tahapan analisis sebaiknya dilakukan sampai masa tenang pemilu sebelum memantapkan pilihan.
Peran Dalam Perintah (Objektif) ini sering kita temukan pada pemuda-pemuda yang turut mengkampanyekan kandidat calon peserta pemilu. Jika ditelusuri alasan mereka melakukan itu terkadang jauh dari kepentingan tetapi karena ikut-ikutan. Misalnya si A memilih suatu calon dan si B ikut memilih, calon mengadakan kegiatan sesuai minat pemuda, pemuda memilih secara emosional karena daya tarik calon bukan pada gagasannya.
Hal seperti ini yang sering menjadi daging segar anggota partai untuk merekrut atau meminta suara mereka. Mereka mencoba menghindari konotasi “budak partai” atau “budak politik”, karena memiliki konotasi negatif padahal kasarnya secara realita itu sebuah fakta. Pada awalnya, mereka di iming-imingi dengan suatu hal tertentu, namun dalam proses transformasi mereka berevolusi menjadi pesuruh partai politik (misalnya, pemuda bersedia membantu calon secara sukarela karena minat yang ditawarkan). Hal semacam inilah yang menjadikan mereka sebagai objek para calon. Non-idealis atau tanpa idealisme mereka dimanfaatkan untuk memperoleh suara suatu calon. Mereka terkurung untuk berekspresi karena terikat pada pilihan mereka.
Terakhir yaitu Peran Karir Politik (Peran Ganda). Sementara Peran karir biasanya disamakan dengan politik subjektif, padahal mereka bisa juga bersifat objektif. Mengingat ambivalensi ini, sangat mengejutkan betapa sedikit perhatian yang diberikan terhadap fenomena ini di kalangan masyarakat umum. Peran ini dimulai saat pemuda berminat untuk terjun langsung dalam praktik politik.
Namun yang jadi pertanyaannya, mereka menyalonkan diri atas dirinya atau perintah orang lain? Saat ini bukan mimpi lagi melihat pemuda mau terjun langsung dalam kontestasi politik. Budaya ketidakpedulian pada politik sekarang sudah surut. Dengan kemampuan mereka dan hak mereka manfaatkan untuk maju berperan langsung.
Tidak mungkin tidak ada tantangan dalam proses ini apalagi pemuda seringkali diremehkan karena minimnya pengalaman. Mereka hanya bisa menawarkan ide dan gagasan kedepan tapi sulit orang memperhatikan gagasan mereka. Sebab budaya pemilih kita masih kental dengan budaya pemilih tradisional yaitu karena kedekatan dan memilih secara emosional.
Ketika mereka ingin berperan subjektif, mustahil rasanya tanpa dibantu peran objektif. Maka mereka melakukan kampanye kabut (samar) sebelum kampanye itu dimulai. Contoh seorang pemuda berniat ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPR, namun masyarakat belum mengenalnya tapi ia memiliki koneksi organisasi.
Maka hal yang ia lakukan adalah mengejar posisi strategis seperti ketua di organisasi tersebut. Ia bisa membangun citra personalnya (Personal Branding) melalui organisasi dan koneksinya itu dengan mempromosikannya melalui iklan reklame maupun digital seperti baleho dan spanduk di jalan dan postingan media sosial teman-teman untuk memberitahu mereka dapat diperhitungkan masyarakat.
Hal ini bertingkat sesuai tingkatan wilayah organisasi yang mereka kuasai. Biasanya jika mereka menguasai organisasi wilayah kabupaten kota, mereka akan mencalonkan diri disana, begitu pula di provinsi maupun nasional.
Tidak sedikit juga dari mereka yang mencalonkan diri karena hubungan atau hak istimewa (Privilege). Sebenarnya contoh diatas juga bisa dibilang hubungan karena ada anggota organisasi dan koneksi mereka. Sedikit berbeda dengan ini, biasanya mereka hadir menjadi pion dari orang tertentu atau memang memanfaatkan kondisi tersebut.
Seorang calon peserta pemilu bisa menjadi pion catur politik ketika ia maju karena permintaan atau didanai orang tertentu. Tidak jarang juga hal tersebut berasal dari kerabat dekat. Calon semacam ini cenderung ada pada calon yang memiliki kerabat pengusaha atau politikus setempat.
Biasanya suara pemilih pemuda yang mencalonkan diri tersebut bisa datang dari suara kerabatnya yang dikenal halayak publik. Contoh seorang calon politisi muda menggunakan suara orang tuanya yang dahulu adalah politisi ulung, atau orang tuanya tokoh terkenal sehingga suaranya bisa dihibahkan kepada anaknya, bisa juga ia dicalonkan karena mempertahankan legitimasi kerabatnya pada daerah tertentu seperti kerabatnya yang sudah cukup periode atau terkena sanksi politik sehingga ialah yang menjadi calon yang maju.
Bisa juga pemuda yang memanfaatkan hubungannya untuk memperoleh suara. Hal ini bukan hanya terjadi pada calon muda namun bisa juga yang sudah senior. Calon tersebut menggunakan ketokohan kerabatnya untuk memperoleh suara biasanya ini disebut politik identitas. Contoh seorang calon menggunakan politik identitas dengan memajang foto kerabatnya yang seorang tokoh terkenal seperti Ulama atau Mantan Pemerintah dengan harapan mampu menarik simpati pengikut kerabatnya dan memperoleh suara dari sana. Dua tipe ini disebut sebagai Political Legacy (Politik Warisan).
Hal ini memungkinkan terjadi di Jambi atau bisa saja sudah terjadi saat ini. Sangat disayangkan Peran Karir ini jarang sekali mengedapankan visi dan gagasan yang mumpuni. Pencalonan mereka seakan-akan warisan untuk mengikuti gaya lama, cara mereka berprosespun seperti mengikuti arus. Posisi strategis tersebut tidak mereka jadikan suatu pemecahan masalah yang ada di daerahnya tetapi menjaga citra keluarga tetap utuh. Apa lagi bagi mereka yang memiliki privilese sulit menemukan orang yang memiliki gagasan yang cemerlang dari mereka yang cenderung banyak melemparkan sentimen. Dengan banyak informasi digital saat ini diharapkan mereka dapat memberikan inovasi baru.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN STS Jambi
Discussion about this post